Pendidikan hak reproduksi dan tubuh perempuan harus diberikan secara terbuka kepada anak sejak dini. Dengan begitu anak akan mengerti dan melindungi tubuhnya. Ajakan negatif dari media internet pun bisa ditangkalnya.
Anak akan lebih aman berinternetan jika terinformasi dengan baik tentang dirinya dan media internet itu sendiri, demikian dijelaskan Adzkar Ahsinin, staf advokasi Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) kepada Kompas Female.
Pendidikan reproduksi ini tak sekadar diperankan oleh orangtua, namun juga negara, kata Adzkar. Caranya, masukkan informasi menyeluruh tentang tubuh dan reproduksi perempuan dalam kurikulum.
"Konsep seksualitas, seksi belum dipahami secara utuh, apalagi dimengerti sebagai bagian dari pendidikan reproduksi," papar Adzkar.
Jika anak mengerti hak atas tubuhnya, dia akan memahami bagaimana menjaga dan melindungi dirinya sendiri. Pendidikan dari sekolah dan keluarga perlu lebih menekankan bahwa pada usia anak-anak (hingga 18 tahun), tubuhnya tidak boleh dipublikasikan, termasuk dalam media jejaring sosial.
"Anak-anak belum bisa memutuskan secara mandiri, karena itu intervensi terutama dari orangtua sangat penting. Anak cenderung ikut-ikutan dan cenderung menjadi korban kemajuan teknologi," jelas Adzkar.
Belum lagi budaya hedonisme dan konsumerisme yang tersebarkan dengan terbuka melalui layar televisi. Misalkan iklan kecantikan yang menyasar pada tubuh perempuan. Ini menjadi faktor lain yang membuat anak cenderung kebablasan dalam menerima informasi, lanjut Adzkar.
"Anak menerima informasi secara masif dan mereka jadi tahu bahwa sebagai perempuan mereka harus cantik dan menarik perhatian lawan jenis. Tanpa pendampingan dari orangtua, informasi ini diterima anak dengan tidak utuh," jelas Adzkar.
Budaya semacam inilah yang kemudian terpendam dalam diri anak, dan tanpa pendidikan yang utuh tentang tubuhnya, anak lantas dengan bebas memasang foto sensual di situs jejaring sosial. Inilah yang kemudian memancing predator online dalam menjalankan aksi virtual seks yang biasanya terjadi dalam chat room.
Harian Kompas menyatakan bahwa virtual seks terjadi ketika anak-anak chatting dengan orang dewasa. Orang dewasa lalu menyuruh anak untuk membuka baju, memperagakan suatu adegan, dan sebagainya. Rekaman dari adegan ini bisa dinikmati secara personal atau bahkan dipublikasikan, baik secara gratis maupun diperjualbelikan. Memprihatinkan, bukan?
Sumber: http://female.kompas.com
Anak akan lebih aman berinternetan jika terinformasi dengan baik tentang dirinya dan media internet itu sendiri, demikian dijelaskan Adzkar Ahsinin, staf advokasi Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) kepada Kompas Female.
Pendidikan reproduksi ini tak sekadar diperankan oleh orangtua, namun juga negara, kata Adzkar. Caranya, masukkan informasi menyeluruh tentang tubuh dan reproduksi perempuan dalam kurikulum.
"Konsep seksualitas, seksi belum dipahami secara utuh, apalagi dimengerti sebagai bagian dari pendidikan reproduksi," papar Adzkar.
Jika anak mengerti hak atas tubuhnya, dia akan memahami bagaimana menjaga dan melindungi dirinya sendiri. Pendidikan dari sekolah dan keluarga perlu lebih menekankan bahwa pada usia anak-anak (hingga 18 tahun), tubuhnya tidak boleh dipublikasikan, termasuk dalam media jejaring sosial.
"Anak-anak belum bisa memutuskan secara mandiri, karena itu intervensi terutama dari orangtua sangat penting. Anak cenderung ikut-ikutan dan cenderung menjadi korban kemajuan teknologi," jelas Adzkar.
Belum lagi budaya hedonisme dan konsumerisme yang tersebarkan dengan terbuka melalui layar televisi. Misalkan iklan kecantikan yang menyasar pada tubuh perempuan. Ini menjadi faktor lain yang membuat anak cenderung kebablasan dalam menerima informasi, lanjut Adzkar.
"Anak menerima informasi secara masif dan mereka jadi tahu bahwa sebagai perempuan mereka harus cantik dan menarik perhatian lawan jenis. Tanpa pendampingan dari orangtua, informasi ini diterima anak dengan tidak utuh," jelas Adzkar.
Budaya semacam inilah yang kemudian terpendam dalam diri anak, dan tanpa pendidikan yang utuh tentang tubuhnya, anak lantas dengan bebas memasang foto sensual di situs jejaring sosial. Inilah yang kemudian memancing predator online dalam menjalankan aksi virtual seks yang biasanya terjadi dalam chat room.
Harian Kompas menyatakan bahwa virtual seks terjadi ketika anak-anak chatting dengan orang dewasa. Orang dewasa lalu menyuruh anak untuk membuka baju, memperagakan suatu adegan, dan sebagainya. Rekaman dari adegan ini bisa dinikmati secara personal atau bahkan dipublikasikan, baik secara gratis maupun diperjualbelikan. Memprihatinkan, bukan?
Sumber: http://female.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar