DARI waktu ke waktu, jumlah penderita kanker payudara di Indonesia terus bertambah. Yang mengkhawatirkan, beberapa tahun terakhir pasien kanker payudara mulai menyerang kalangan muda.
Mitos yang mengatakan kalau kanker payudara kerap menyerang perempuan yang sudah berusia di atas 30 tahun, sepertinya terpatahkan. Pasalnya, kini usia penderita kanker payudara semakin bergeser ke perempuan yang berusia muda alias anak baru gede (ABG).
Data yang dihimpun Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta menyebutkan banyak penderita kanker payudara pada usia relatif muda. Bahkan, tidak sedikit remaja putri usia empat belas tahun menderita tumor di payudara. Hal ini tentu saja menyedihkan dan meresahkan.
”Terakhir saya tangani itu usianya masih 15 tahun. Itulah kenyataan problem yang kita alami,” kata Ketua Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta Dr Sutjipto SpB(K) Onk saat penandatanganan nota kesepahaman (MoU) kerja sama kemitraan dengan Ristra Group di House of Ristra, Radio Dalam, Jakarta.
Sutjipto mengungkapkan, dahulu saat dirinya masih baru menjalani profesi dokter, kira-kira 40 tahun yang lalu, penderita kanker payudara masih didominasi wanita usia di atas 35 tahun. Makin bertambah tahun, usia penderita malah terus menurun.
”Mulai lima tahun terakhir, kasus di bawah 25 tahun makin bertambah,” ujarnya.
Kenyataan ini, terang dia, memang belum diketahui penyebab pastinya karena penyakit kanker berhubungan dengan multifaktor.
Tetapi yang terpenting sekali, tegas Sutjipto, adalah terkait gaya hidup (lifestyle) seseorang, terutama mengonsumsi makanan tidak sehat (junk food), merokok, alkohol atau bisa juga karena telat menikah.
”Saat ini banyak wanita yang lebih mementingkan karier sehingga telat menikah. Itu juga jadi faktor risiko karena mereka bisa jadi melahirkan anak di usia 35 tahun ke atas,” tutur Sutjipto yang juga ahli kanker di RS Kanker Dharmais Jakarta ini.
Sutjipto mengemukakan, makin tingginya angka penderita kanker payudara di Indonesia juga disebabkan masih rendahnya kesadaran wanita untuk melakukan deteksi dini kanker payudara dengan cara breast screening atau biasa disebut alat mamografi.
”Di sini lebih kenal cek pap smear untuk mencegah kanker serviks dibanding amografi,” tandasnya.
Di negara lain, kata dia, upaya deteksi dini sudah menjadi program nasional. Di Jepang misalnya, ketika penduduk wanita telah berusia 40 tahun, dia otomatis mendapatkan voucher dari pemerintah untuk menjalankan mamografi di rumah sakit. Sementara kebanyakan negara di Eropa, perusahaan asuransinya telah mencakup checkup rutin mamografi dalam klaim kesehatannya.
”Gejala kanker payudara itu tidak ada. Sekitar 60% pasien kanker payudara di Indonesia baru mengetahui penyakitnya saat sudah memasuki stadium lanjut. Nah, apabila deteksi dini dilakukan, tentunya dapat mencegah penyakitnya semakin parah,” jelas Sutjipto.
Terkait jumlah penderitanya di Indonesia, terang Sutjipto, sampai saat ini tidak diketahui pasti. Yang ada, hanya data per rumah sakit. Di RS Kanker Dharmais Jakarta misalnya, rata-rata setiap bulan datang sekitar 30–50 pasien baru. Dibandingkan di dunia, memang peningkatan jumlah penderita di Tanah Air hampir sama.
Namun yang menjadi perhatian di Indonesia dan di negara berkembang lainnya, ketahanan hidup (survival rate) mereka tergolong rendah karena baru menerima tindakan medis saat sudah dalam stadium lanjut.
”Kalau di negara maju masih stadium dini sudah ditangani, sehingga survival rate-nya jauh lebih baik,” terangnya.
Karena itu, Sutjipto mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan permasalahan ini. Tidak hanya pemerintah, dia juga mengimbau kalangan swasta serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli soal ini untuk bergerak bersama menuntaskan persoalan ini.
Termasuk Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta yang telah lama berkiprah untuk menyebarluaskan dan melakukan penyuluhan kepada seluruh wanita-wanita Indonesia khususnya warga Jakarta untuk selalu berhati-hati dan melakukan deteksi dini rutin kanker payudara.
”Meskipun tidak merasakan gejala apa pun, tes mamografi itu wajib bagi wanita yang berusia di atas 35 tahun. Kita sendiri di Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta telah memiliki mobil unit mamografi. Sehingga yang mau check-up payudara, tidak perlu ke rumah sakit lagi,” imbuh Sutjipto.
Pendiri House of Ristra Dr Retno Iswari Tranggono SpKK mengatakan, pihaknya terus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam upaya mengedukasi kepada masyarakat luas terkait persoalan kesehatan para wanita, khususnya kanker payudara, mengingat masalah kanker sudah menjadi momok menakutkan yang mesti ditangani dengan baik.
Hubungan dengan kesehatan kulit, tutur Retno, karena lingkungan alam kita adalah salah satu pemicu timbulnya kanker, di antaranya sinar matahari yang terlampau menyengat, serta udara kotor dari lingkungan tidak sehat.
Dan jika partikel tersebut masuk ke dalam kulit, tentunya akan menimbulkan reaksi negatif dalam sel di dalam tubuh, yang akhirnya dapat menyebabkan penyakit kanker. Itulah, lanjut dia, pentingnya produk-produk dari Ristra untuk melindungi kulit saat aktivitas setiap hari di luar rumah.
”Produk-produk kosmetik yang kita hasilkan di Ristra berdasarkan konsep kesehatan medik. Untuk penderita kanker payudara, kita juga punya produk post therapy. Misalnya produk untuk kerontokan rambut dan kulit terbakar akibat kemoterapi yang sudah terbukti secara klinis,” terangnya.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP & PA) Linda Amalia Sari Gumelar sebagai pendiri Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta, meminta perempuan harus secara rutin cek mamografi agar kemungkinan menderita kanker payudara dapat dideteksi secara dini, terutama di daerah-daerah pelosok yang pelayanan kesehatannya masih terbatas.
”Perhatian dari pemerintah sendiri akan kita tingkatkan. Namun, yang paling penting adalah partisipasi masyarakat dan pihak swasta untuk terus menyosialisasikan pentingnya deteksi dini kanker payudara. Juga bisa melakukan kegiatan Sadari (periksa payudara sendiri) di rumah,” tuturnya.(Koran SI/Koran SI/nsa)
Sumber:http://lifestyle.okezone.com/read/2010/03/16/27/312924/kanker-payudara-menyerang-remaja
Mitos yang mengatakan kalau kanker payudara kerap menyerang perempuan yang sudah berusia di atas 30 tahun, sepertinya terpatahkan. Pasalnya, kini usia penderita kanker payudara semakin bergeser ke perempuan yang berusia muda alias anak baru gede (ABG).
Data yang dihimpun Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta menyebutkan banyak penderita kanker payudara pada usia relatif muda. Bahkan, tidak sedikit remaja putri usia empat belas tahun menderita tumor di payudara. Hal ini tentu saja menyedihkan dan meresahkan.
”Terakhir saya tangani itu usianya masih 15 tahun. Itulah kenyataan problem yang kita alami,” kata Ketua Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta Dr Sutjipto SpB(K) Onk saat penandatanganan nota kesepahaman (MoU) kerja sama kemitraan dengan Ristra Group di House of Ristra, Radio Dalam, Jakarta.
Sutjipto mengungkapkan, dahulu saat dirinya masih baru menjalani profesi dokter, kira-kira 40 tahun yang lalu, penderita kanker payudara masih didominasi wanita usia di atas 35 tahun. Makin bertambah tahun, usia penderita malah terus menurun.
”Mulai lima tahun terakhir, kasus di bawah 25 tahun makin bertambah,” ujarnya.
Kenyataan ini, terang dia, memang belum diketahui penyebab pastinya karena penyakit kanker berhubungan dengan multifaktor.
Tetapi yang terpenting sekali, tegas Sutjipto, adalah terkait gaya hidup (lifestyle) seseorang, terutama mengonsumsi makanan tidak sehat (junk food), merokok, alkohol atau bisa juga karena telat menikah.
”Saat ini banyak wanita yang lebih mementingkan karier sehingga telat menikah. Itu juga jadi faktor risiko karena mereka bisa jadi melahirkan anak di usia 35 tahun ke atas,” tutur Sutjipto yang juga ahli kanker di RS Kanker Dharmais Jakarta ini.
Sutjipto mengemukakan, makin tingginya angka penderita kanker payudara di Indonesia juga disebabkan masih rendahnya kesadaran wanita untuk melakukan deteksi dini kanker payudara dengan cara breast screening atau biasa disebut alat mamografi.
”Di sini lebih kenal cek pap smear untuk mencegah kanker serviks dibanding amografi,” tandasnya.
Di negara lain, kata dia, upaya deteksi dini sudah menjadi program nasional. Di Jepang misalnya, ketika penduduk wanita telah berusia 40 tahun, dia otomatis mendapatkan voucher dari pemerintah untuk menjalankan mamografi di rumah sakit. Sementara kebanyakan negara di Eropa, perusahaan asuransinya telah mencakup checkup rutin mamografi dalam klaim kesehatannya.
”Gejala kanker payudara itu tidak ada. Sekitar 60% pasien kanker payudara di Indonesia baru mengetahui penyakitnya saat sudah memasuki stadium lanjut. Nah, apabila deteksi dini dilakukan, tentunya dapat mencegah penyakitnya semakin parah,” jelas Sutjipto.
Terkait jumlah penderitanya di Indonesia, terang Sutjipto, sampai saat ini tidak diketahui pasti. Yang ada, hanya data per rumah sakit. Di RS Kanker Dharmais Jakarta misalnya, rata-rata setiap bulan datang sekitar 30–50 pasien baru. Dibandingkan di dunia, memang peningkatan jumlah penderita di Tanah Air hampir sama.
Namun yang menjadi perhatian di Indonesia dan di negara berkembang lainnya, ketahanan hidup (survival rate) mereka tergolong rendah karena baru menerima tindakan medis saat sudah dalam stadium lanjut.
”Kalau di negara maju masih stadium dini sudah ditangani, sehingga survival rate-nya jauh lebih baik,” terangnya.
Karena itu, Sutjipto mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan permasalahan ini. Tidak hanya pemerintah, dia juga mengimbau kalangan swasta serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli soal ini untuk bergerak bersama menuntaskan persoalan ini.
Termasuk Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta yang telah lama berkiprah untuk menyebarluaskan dan melakukan penyuluhan kepada seluruh wanita-wanita Indonesia khususnya warga Jakarta untuk selalu berhati-hati dan melakukan deteksi dini rutin kanker payudara.
”Meskipun tidak merasakan gejala apa pun, tes mamografi itu wajib bagi wanita yang berusia di atas 35 tahun. Kita sendiri di Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta telah memiliki mobil unit mamografi. Sehingga yang mau check-up payudara, tidak perlu ke rumah sakit lagi,” imbuh Sutjipto.
Pendiri House of Ristra Dr Retno Iswari Tranggono SpKK mengatakan, pihaknya terus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam upaya mengedukasi kepada masyarakat luas terkait persoalan kesehatan para wanita, khususnya kanker payudara, mengingat masalah kanker sudah menjadi momok menakutkan yang mesti ditangani dengan baik.
Hubungan dengan kesehatan kulit, tutur Retno, karena lingkungan alam kita adalah salah satu pemicu timbulnya kanker, di antaranya sinar matahari yang terlampau menyengat, serta udara kotor dari lingkungan tidak sehat.
Dan jika partikel tersebut masuk ke dalam kulit, tentunya akan menimbulkan reaksi negatif dalam sel di dalam tubuh, yang akhirnya dapat menyebabkan penyakit kanker. Itulah, lanjut dia, pentingnya produk-produk dari Ristra untuk melindungi kulit saat aktivitas setiap hari di luar rumah.
”Produk-produk kosmetik yang kita hasilkan di Ristra berdasarkan konsep kesehatan medik. Untuk penderita kanker payudara, kita juga punya produk post therapy. Misalnya produk untuk kerontokan rambut dan kulit terbakar akibat kemoterapi yang sudah terbukti secara klinis,” terangnya.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP & PA) Linda Amalia Sari Gumelar sebagai pendiri Yayasan Kesehatan Payudara Jakarta, meminta perempuan harus secara rutin cek mamografi agar kemungkinan menderita kanker payudara dapat dideteksi secara dini, terutama di daerah-daerah pelosok yang pelayanan kesehatannya masih terbatas.
”Perhatian dari pemerintah sendiri akan kita tingkatkan. Namun, yang paling penting adalah partisipasi masyarakat dan pihak swasta untuk terus menyosialisasikan pentingnya deteksi dini kanker payudara. Juga bisa melakukan kegiatan Sadari (periksa payudara sendiri) di rumah,” tuturnya.(Koran SI/Koran SI/nsa)
Sumber:http://lifestyle.okezone.com/read/2010/03/16/27/312924/kanker-payudara-menyerang-remaja
0 komentar:
Posting Komentar